Kamis, 16 Mei 2013

Sejarah Pengkajian Ejaan



A.Pengertian Ejaan
Ejaan adalah penggambaran bunyi bahasa (kata, kalimat, dsb) dengan kaidah tulisan (huruf) yang distandardisasikan dan mempunyai makna. Ejaan biasanya memiliki tiga aspek yaitu
  1. aspek fonologis yang menyangkut penggambaran fonem dengan huruf dan penyusunan abjad
  2. aspek morfologis yang menyangkut penggambaran satuan-satuan morfemis
  3. aspek sintaksis yang menyangkut penanda ujaran berupa tanda baca
Ejaan juga dapat diartika sebagai kaidah tulis menulis baku yang didasarkan pada penggambaran bunyi, dimana tidak hanya mengatur cara menulis huruf, tetapi juga cara menulis kata dan cara menggunakan tanda baca. Adapun menurut KBBI (1993:250) ejaan ialah kaidah-kaidah caramenggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dan sebagainya) dalam bentuktulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca. Dengan demikian,secara sederhana dapat dikatakan bahwa ejaan adalah seperangkat kaidahtulis-menulis yang meliputi kaidah penulisan huruf, kata, dan tanda baca. Adapunprinsip-prinsip penyusunan ejaan antara lain :
Prinsip Kecermatan
      Sistem ejaan tidak boleh mengandung kontradiksi.
      Bila suatu tanda sudah digunakan untuk melambangkan satu fonem, maka tanda itu dipakai untuk fonem itu seterusnya.
Prinsip Kehematan
Diperlukan suatu standar yang mantap untuk menyusun suatu ejaan agar orang dapat menghemat tenaga dan pikirannya dalam berkomunikasi.
Prinsip Keluwesan
      Sistem ejaan harus terbuka bagi perkembangan bahasa di kemudian hari.
      Dengan adanya Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), maka ditetapkan penggunaan huruf f untuk kata aktif, sifat, fakultas, dll.


Prinsip Kepraktisan
Diusahakan untuk tidak menggunakan huruf-huruf baru yang tidak lazim, agar tidak mengganti mesin tik atau peralatan tulis lainnya.
B. Sejarah Perkembangan Ejaan di Indonesia
Bahasa Indonesia yang awalnya berakar dari bahasa Melayu sudah memiliki aksara sejak beratus tahun yang lalu, yaitu aksara Arab Melayu. Di Nusantara ini, bukan saja aksara Arab Melayu yang kita kenal. Kita juga mengenal aksara Jawa, aksara Sunda, aksara Bugis, aksara Bali, aksara Lampung, aksara Kerinci, aksara Rejang, dan aksara Batak. Aksara itu masing-masing memiliki nama, seperti aksara Kaganga dan aksara Rencong (incung).

Van Ophuysen (1901)
Soewandi
(1947)
Pembaruan
(1957)
Melindo
(1959)
Ejaan Baru
(1966)
EYD
(1972)
J
J
y
y
y
y
dj
dj
j
j
j
J
nj
nj
ň
ƞ
ny
ny
sj
-
ś
š
sy
sy
tj
tj
-
c
c
c
ch
-
-
-
kh
kh
ng
ng
ƞ
ƞ
ng
ng
z
-
z
z
z
z
Ejaan yang diresmikan

1.  Ejaan Van Ophuijsen

Aksara Arab Melayu dipakai secara umum di daerah Melayu dan daerah-daerah  yang telah menggunakan bahasa Melayu. Akan tetapi, karena terjadi kontak budaya dengan dunia Barat, sebagai akibat dari kedatangan orang Barat dalam menjajah di Tanah Melayu itu, di sekolah-sekolah Melayu telah digunakan aksara latin secara tidak terpimpin. Oeh sebab itu, pada tahun 1900, menurut C.A. Mees (1956:30), Van Ophuijsen, seorang ahli bahasa dari Belanda mendapat perintah untuk merancang suatu ejaan yang dapai dipakai dalam bahasa Melayu, terutama untuk kepentingan pengajaran. Jika penyususnan ejaan itu tidak cepat-cepat dilakukan, dikhawatirkan bahwa sekolah-sekolah  tersebut akan menyusun dengan cara yang tidak terpimpin sehingga akan muncul kekacauan dalam ejaan tersebut.
Dalam menyusun ejaan tersebut, Van Ophuijsen dibantu oleh dua orang pakar bahasa dari Melayu, yaitu Engkoe Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Thaib Soetan Ibrahim. Dengan menggabungkan dasar-dasar ejaan Latin dan Ejaan Belanda, Van Ophuijsen dan teman-teman berhasil membuat ejaan bahasa Melayu, yang ejaan tersebut lazim disebut sebagai “Ejaan Van Ophuijsen”. Ejaan tersebut diresmikan pemakaiannya pada tahun 1901. Ejaan van Ophuijsen dipakai selama 46 tahun, lebih lama dari Ejaan Republik, dan baru diganti setelah dua tahun Indonesia merdeka. Huruf-huruf yang mendukunng Ejaan Van Ophuijsen adalah sebagai berikut:
Bunyi vokal
A
E
i
o
u
Bunyi diftong
ai
Au
Oi
oe


Bunyi konsonan
B
P
M
g
k
ng

D
T
N
dj
tj
nj

R
S
L
j
h
w
Bunyi hamzah





Bunyi ain





Bunyi trema
Bunyi asing
..
ch

Sj

Z





Dengan adanya ejaan tersebut, kita akan mendapatkan penulisan kata dalam bahasa Melayu sebagai berikut: ajam, elang, ekor, itik, orang, oelar, petai, kerbau, amboi, kapal, galah, tjerah, djala, tikar, darah, pasar, hilah, rasa, lipat, warna, soedah, habis, singa, njanji, mana, tida’, akal, mulai. Pemakaian angka dua menyakan perulangan tidak dibenarkan. Pengulangan penyabutan sebuah kata harus dilakukan dengan menulis secra lengkap kata tersebut.
Ejaan Van Ophuijsen belum dikatakan berhasil karena ia dan teman-temannya mendapat kesulitan memelayukan tulisan beberapa kata yang diambil dari bahasa Arab, yang mempunyai warna bunyi bahasa yang khas. Oleh sebab itu, dia memilih bunyi ch, sj, z, f, secara tidak taat asas karena sudah pula banyak bahasa Arab yang dimelayukan sehingga empat huruf itu tidak terpakai dengan baik. Kemudian, muncul persoalan warna bunyi dari Arab yang disebut hamza dan ain, yang dilambangkannya masing-masing dengan tanda apostrof (‘). Kesukaran-kesukaran itu selalu diperbaiki dan disempurnakan oleh Van Ophuijsen. Ejaan tersebut secara lengkap termuat dalam buku yang berjudul Kitab Logat Melajoe. Pada tahun 1926, sistem ejaan mendapat bentuk yang tetap.
2.  Ejaan Republik (Ejaan Soewandi)

Beberapa tahun sebelum Indonesia merdeka yakni pada masa pendudukan Jepang, pemerintah sudah mulai memikirkan keadaan ejaan kita yang sangat tidak mampu mengikuti perkembangan ejaan internasional. Oleh sebab itu, Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melakukan pengubahan ejaan untuk menyempurnakan ejaan yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu, pada tahun 1947 muncullah sebuah ejaan yang baru sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen. Ejaan tersebut diresmikan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia, Dr. Soewandi, pada tanggal 19 Maret 1947 yang disebut sebagai Ejaan Republik. Karena Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan adalah Dr. Soewandi, ejaan yang diresmikan itu disebut juga sebagai Ejaan Soewandi. Hal-hal yang menonjol dalam Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik itu adalah sebagai berikut :

Ø Huruf /oe/ diganti dengan /u/, seperti dalam kata berikut
·         itoe menjadi itu
·         oemoer menjdi umur
·         goeroe menjdi guru
Ø Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan /k/, seperti dalam kata berikut
·         tida’ menjadi tidak
·         Pa’ menjadi Pak
·         ma’lum menjadi maklum
·         ra’yat menjadi rakyat
Ø Angka dua boleh dipakai untuk menyatakan pengulangan, seperti kata berikut
·         beramai-ramai menjadi be-ramai2
·         anak-anak menjadi anak2
·         berlari-larian menjadi ber-lari-2an
·         berjalan-jalan menjadi ber-jalan2
Ø Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti berikut :
diluar (kata depan), dikebun (kata depan), ditulis (awalan), diantara (kata depan), disimpan (awalan), dipimpin (awalan), dimuka (kata depan), ditimpa (awalan), disini (kata depan).
Ø Tanda trema tidak dipakai lagi sehingga tidak ada perbedaan antar suku kata diftong, seperti kata berikut
·         Didjoempaϊ menjadi didjumpai
·         Dihargaϊ menjadi dihargai
·         Moelaϊ menjadi mulai
Ø Tanda aksen pada huruf e tidak dipakai lagi, seperti pada kata berikut
·         kor menjadi ekor
·         hran mejadi heran
·         mrah menjadi merah
·         berbda menjadi berbeda
Ø Di hadapan tj dan dj, bunyi sengau ny dituliskan sebagai n untuk mengindahkan cara tulis
·         Menjtjuri menjdi mentjuri
·         Menjdjual menjadi mendjual
Ø Ketika memotong kata-kata di ujung baris, awalan dan akhiran dianggap sebagai suku-suku kata yang terpisah
·         be-rangkat menjadi ber-angkat
·         atu-ran menjadi atur-an
Ø Huruf-huruf q, x, dan y tidak diatur pemakainnya dalam ejaan. Huruf c hanya dipakai dalam hubungannya dengan huruf ch.

3.  Ejaan Yang Disempurnakan
Pada tanggal 16 Agustus 1972, Ptresiden Republik Indonesia (Bapak Soeharto) meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang lazim disingkat dengan EYD. Peresmian ejaan tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972. Dengan dasar itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang memuat berbagai patokan pemakaian ejaan yang baru. Buku yang beredar yang memuat kaidah-kaidah ejaan tersebut direvisi dan dilengkapi oleh suatu badan yang berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang diketuai oleh Prof. Dr. Amran Halim dengan dasar surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 12 Oktober 1972, Nomor 156/P/1972. Hasil kerja komisi tersebut adalah berupa sebuah buku yang berjudul Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang diberlakukan dengan surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0196/1975. Bersama buku tersebut, lahir pula sebuah buku yang berfungsi sebagai pendukung buku yang pertama, yaitu buku Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Badan itu bernama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang sekarang bernama Pusat Bahasa.
Beberapa hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan itu adalah sebagai berikut :
Ø Huruf yang berubah fungsi adalah sebagai berikut
a.    /dj/ djalan menjadi /j/ jalan
b.    /j/ pajung menjadi /y/ payung
c.    /nj/ njanji menjadi /ny/ nyanyi
d.    /sj/ isjarat menjadi /sy/ isyarat
e.    /tj/ tjukup menjadi /c/ cukup
f.     /ch/ achir menjdi /kh/ akhir
Ø Peresmian penggunaan huruh berikut yang sebelumnya belum resmi adalah :
a.    pemakaian huruf /f/ dalam kata maaf, fakir
b.    pemakaian huruf /v/ dalam kata universitas, valuta
c.    pemakaian huruf /z/ dalam kata lezat, zeni
Ø Huruf yang hanya dipakai dalam ilmu eksakta, adalah sebagai berikut
a.    pemakaian huruf /q/ dalam rumus a:b = p:q
b.    pemakaian huruf /x/ dalam istilah Sinar-X
Ø Penulisan di- sebagai awalan dan penulisan di sebagai kata  depan dilakukan seperti berikut :
a.  penulisan awalan di- diserangkaiakan dengan kata yang mengikutinya, seperti dimakan, dijumpai
b.  penulisan kata  depan di dipisahkan dengan kata yang emngikutinya, seperti di muka, di pojok, di antara.
Dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan itu terdapat pembicaraan yang lengkap, yaitu
1.  pembicaraan tentang nama dan penulisan huruf
2.  pembicaraan tentang pemakaian huruf
3.  pembicaraan tentang penulisan kata
4.  pembicaraan tentang penulisan unsur serapan
5.  pembicaraan tentang pemakaian tanda baca.
Dengan lahirnya Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan itu kini kita dapat merasakan bahwa ejaan bahasa kita sudah tidak perlu diubah lagi. Jika ada hal-hal yang perlu dimasukkan ke dalam ejaan yang selama ini tidak diatur dalam ejaan tersebut, cukup ejaan itu direvisi dalam edisi berikutnya. 

Ejaan yang tidak diresmikan
1.    Ejaan Melindo
Pada akhir tahun 1950-an para penulis mulai pula merasakan kelemahan yang terdapat pada Ejaan Republik itu. Ada kata-kata yang sangat mengganggu penulisan karena ada satu bunyi bahas yang dilambangkan dengan dua huruf, seperti dj, tj, sj, ng, dan ch. Para pakar bahasa menginginkan satu lamabang untuk satu bunyi. Gagasan tersebut dibawa ke dalam pertemuan dua Negara, yaitu Indonensia dan Malaysia.  Dari pertemuan itu, pada akhir tahun 1959 Sidang Perutusan Indonensia dan Melayu (Slametmulyana dan Syeh Nasir bin Ismail, masing-masing berperanan sebagi ketua perutusan) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia).  
Konsep bersama itu memperlihatkan bahwa satu bunyi bahasa dilambangkan dengan satu huruf. Salah satu lambing itu adalah huruf j sebagai pengganti dj, huruf c sebagai pengganti huruf tj, huruf η sebagai pengganti ng, dan huruf ή sebagai pengganti nj. Sebagai contoh :
·   sejajar sebagai pengganti sedjadjar
·   mencuci sebagai pengganti mentjutji
·   meηaηa  sebagai pengganti dari menganga
·   berήaήi sebagai pengganti berjanji
Ejaan Melindo tidak pernah diresmikan. Di samping terdapat beberapa kesukaran teknis untuk menuliskan  beberapa huruf, politik yang terjadi pada kedua negara antara Indonesia-Malaysia tidak memungkinkan untuk meresmikan ejaan tersebut. Perencanaan pertama yang dilakukan dalam ejaan Melindo, yaitu penyamaan lambang ujaran antara kedua negara, tidak dapat diwujudkan. Perencanaan kedua, yaitu pelambangan setiap bunyi ujaran untuk satu lambang, juga tidak dapat dilaksanakan. Berbagai gagasan tersebut dapat dituangkan dalam Ejaan bahasa Indonensia yang disempurnakan yang berlaku saat ini.











Daftar Pustaka